Judul Buku : Gelandangan Di Kampung Sendiri Penulis : Emha Ainun Nadjib Penerbit : Bentang Pustaka Cetakan : 1. 2018 Tebal : 290 Halaman ISB...
Judul Buku : Gelandangan Di Kampung Sendiri
Penulis : Emha Ainun Nadjib
Penerbit : Bentang Pustaka
Cetakan : 1. 2018
Tebal : 290 Halaman
ISBN : 978-602-291-472-3
Peresensi : Ahmad Wiyono (Pegiat Literasi, tinggal di Pamekasan Madura)
“Suara rakyat adalah suara Tuhan”, begitu ungkapan lama yang sering kita dengar sejak dulu dan bahkan populer hingga saat ini. Sebuah ungkapan yang menggambarkan posisi rakyat yang nyaris sempurna. Meski praktiknya, jauh panggang dari pada api, karena suara rakrat semakin sekarat.
Fakta kehidupan rakyat kita hari ini yang mulai tak menemukan keteduhan di negeri sendiri menjadi indikator kuat betapa suara mereka tak lagi menjadi suara Tuhan. Rakyat justeru menjadi objek kebiadaban para penguasa dengan hanya dibutuhkan dalam pesta lima tahunan, muncullah bahasa “atas nama rakyat”, setelahnya rakyat tak menemukan apa-apa.
Buku berjudul Gelandangan di Kampung sendiri; pengaduan orang-orang pinggiran ini merupakan rangkuman kegelisahan rakyat atas sepak terjang penguasa yang selalu berjalan berdasar kemaunnya sendiri, rakyat tak terwakili karena keterwakilan rakyat sudah diwakili oleh penguasa itu sendiri. Sungguh gelandangan yang nyata.
Aspirasi rakyat acap kali bersiat formalitas, tak ada kesungguhan untuk sekedar menerjemahkan suara rakyat yang terlantun dari aspirasi mereka. Kepentingan kelompok dan golongan adakalanya mengalahkan kepentingan masyarakat umum. Ini fenomina yang sering kita saksikan di rumah besar kita bernama Indonesia ini. Puncaknya, kebijakan yang dihasilkan kadang hanya untuk sekedar mengunggurkan kewajiban, jauh dari aspek kemakmuran.
Prinsipnya, orang akan lebih lapang menerima pembaruan suatu undang-undang, asalkan dibuktikan terlebih dahulu konsistensi para pelakunya. Kemauan masyarakat pemakai jalan raya juga lebih enak didengar apabila mereka menunjukkan iktikad yang konstruktif terhadap ketertiban berlalu lintas. Yang bikin udang-udang tidak asal kuasa dan yang tidak sependapat juga tidak waton ngeyel. (Hal. 108).
Ini adalah gambaran sederhana tentang aspirasi rakyat yag nyaris tak terakomodir, banyak kebijakan pemerintah yang merugikan rakyat. Semisal tetkait pembebasam lahan untuk perluasan jalan, dan lain sebagainya. Alasan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat dengan mempebaiki jalan raya kadang menjadi argument yang tak terbantahkan, meskipun dilain pihak banyak yang sebenarnya dirugikan.
Terang bahwa keputusan pemerintah kita ini merupakan “ekspresi nasionalisme” . artinya, seluruh penghuni “rumah” kita kompak dalam menyikapi tetangga jauh yang dulu pernah merampok kita ratusan tahun. Boleh saja, kehidupan intern rumah tangga Indonesia kita terkadang mengalami perbedaaan pendapat, sedikit kisruh, nggondok, mangkel, purik, atau paidon-paidonan. Namun dalam soal ini kita kompak. (Hal. 158).
Kritik konsttuktif adalah pesan utama yang diusung oleh buku terbitan Bentang Pustaka ini, hampir semuanya mengulas tentang masukan dan aspirasi rakyat untuk penguasa. Buku ini secara sadar memberikan pencerahan bagi segenap pembaca tentang pentingnya menyampaikan pendapat bagi para pejabaa kita agar mereka tidak selalu terlena dengan kursi empuk yang didudukinya, sehingga bisa melupakan para rakyat yang telah megusungnya, bahkan telah membiayai hidupnya, karena sejatinya yang mereka makan adalah hasil pajak dari rakyat Indonesia.
Melalui buku ini kita bisa mengambil hikmah sekaligus pelajaran agar bisa bangkit dari keterpurukan. Sudah saatnya rakyat megembalikan kekuatan suaranya sehingga bisa kembali mejadi suara tuhan. Sehingga konsekwensinya, rakyat tidak lagi menjadi bawahan, melainkan menjadi atasan yang harus dilayani. Rakyat juga harus jadi pusat aspirasi tidak hanya sebatas formaalitas. Buku ini menjagak kita semua untuk kritis membaca persoalan dinamika kebangsan kita. Selamat membaca. (HB)
Tidak ada komentar
Thank you for your kind comment, we really appreciate it.