Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman (tengah) didampingi Hakim Konstitusi (dari kiri) Suhartoyo, Aswanto, Saldi Isra dan I Dewa Gede...
POKROL.com, Jakarta - Mahkamah Konstitusi (MK) menolak uji materi konstitusionalitas perwakilan proporsional daftar terbuka, sehingga tetap mempertahankan sistem pemilu legislatif mendatang.
Uji materi atau judicial review terhadap sejumlah pasal dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum di MK. Pasal yang digugat yakni Pasal 168 ayat (2), Pasal 342 ayat (2), Pasal 353 ayat (1) huruf b, Pasal 386 ayat (2) huruf b, Pasal 420 huruf c dan d, Pasal 422, Pasal 424 ayat (2), dan Pasal 426 ayat (3) UU Pemilu.
Pemohon uji materi adalah Demas Brian Wicaksono (pengurus PDIP cabang Banyuwangi); Yuwono Pintadi; Fahrurrozi (Bacaleg 2024); Ibnu Rachman Jaya (warga Jagakarsa, Jakarta Selatan); Riyanto (warga Pekalongan); dan Nono Marijono (warga Depok). Mereka memilih pengacara dari kantor hukum Din Law Group.
Para pemohon menggugat pasal yang mengatur pemungutan suara dilakukan proporsional terbuka atau sistem coblos calon anggota legislatif (caleg). Mereka ingin sistem coblos partai atau proporsional tertutup yang diterapkan.
Putusan menolak permohonan kasasi para penggugat itu diumumkan Ketua MK Anwar Usman dalam sidang di Jakarta, Kamis 15 Juni 2023.
Saat menyampaikan putusan pengadilan, Hakim Saldi Isra mengatakan argumen penggugat bahwa sistem pemungutan suara daftar terbuka dalam pemilu mengurangi dan mendistorsi peran partai politik terlalu dibesar-besarkan.
"(Hal ini) karena selama ini parpol masih memiliki peran sentral dengan kewenangan penuh dalam proses seleksi dan penetapan bakal calon (pilkada)," tandasnya.
Menurut Isra, pengadilan menilai peran partai politik tetap sentral dalam proses pemilihan kandidat pemilu yang dapat mewakili ideologi, agenda, dan kepentingan partai.
Hakim juga menyatakan bahwa perwakilan proporsional daftar terbuka bukanlah penyebab munculnya politik uang, yang merupakan masalah yang dikemukakan oleh penggugat, karena merupakan masalah yang berulang dalam pemilu terlepas dari sistemnya.
“Misalnya, dalam sistem daftar suara tertutup, politik uang lebih mungkin terjadi di kalangan elit partai politik, di mana calon legislatif berlomba-lomba dengan segala cara untuk mendapatkan tempat pertama dalam daftar partai untuk meningkatkan elektabilitas mereka,” jelas Isra.
Selain itu, persoalan pemilu lain yang menjadi sorotan para penggugat, seperti risiko korupsi dan pemenuhan kriteria keterwakilan perempuan, tidak semata-mata disebabkan oleh sistem pemilu, ujarnya.
"(Hal ini) karena akan selalu ada kemunduran dalam setiap sistem pemilu yang bisa diperbaiki dan disempurnakan tanpa mengubah sistem," kata Isra.
Ia mengatakan, perbaikan sistem pemilu bisa dilakukan dalam berbagai aspek selain mengubah sistem pemilu, seperti pembenahan budaya politik, kesadaran pemilih, dan proses kaderisasi partai politik.
“Oleh karena itu, dalil para penggugat yang pada intinya menyatakan bahwa perwakilan proporsional daftar terbuka yang didiktekan oleh norma Pasal 168 (2) UU Nomor 7 Tahun 2017 bertentangan dengan UUD 1945 tidak memiliki dasar hukum secara keseluruhan,” keadilan dinyatakan.
Sidang pada Kamis hanya dihadiri delapan dari sembilan hakim. Menurut Juru Bicara MK Fajar Laksono, Hakim Wahiduddin Adams sedang dalam urusan dinas di luar negeri.
Temukan berita dan konten POKROL lainnya di Google News.
Tidak ada komentar
Thank you for your kind comment, we really appreciate it.